Jar-jari ini masih saja menggebu-nggebu menekan barisan keyboard
laptop. Meski mata semakin merah dan pedih menahan kantuk. Tapi tubuh
renta ini masih enggan juga untuk beranjak dari kursi. Dan, isi
kepalaku, masih saja berebut keluar tiada habisnya. Kulirik jam di sudut
layar laptop. Pukul 02.37. Gila! Sudah pagi rupanya.Tidak hanya isi kepalaku ternyata yang merantaiku di bangku belajar cucuku ini. Tapi kemarahan, kedongkolan, kesedihan, keprihatinan, kebencian dan segudang perasaan yang sulit didefinisikan menyeruak keluar turut membumbuhi tarian jemariku.
Hei berhenti sialan! Tak ada guna kau semarah itu. Tak ada guna pula apa yang kau tuliskan itu, sebagus dan semenarik apapun itu. Toh, mereka hanya membacanya tanpa mau peduli perasaanmu. Apalagi dewa-dewa berdasi di gedung parlemen sana. Biarpun tumitmu sampai selicin keramik, mereka tak akan peduli. Bisikku pada diri sendiri. Berharap tumpahan isi kepala dan luapan perasaan ini berhenti sekarang juga.
Harus aku salahkan siapa kalau sudah begini. Keadaan mengenaskan bangsaku inikah? Atau bedebah-bedebah lintah itu? Atau kalian para pemuda bisu yang bisany sembunyi di balik punggung ibumu? Atau aku kutuk saja diri ini? Yang sampai rambut memutih begini belum jua mampu menyembuhkan negeri ini.
Adzan Subuh berkumandang, dan aku masih saja tenggelam dalam lautan suara rumpang.
***
"Kek, bangun, kek ayo bangun!" Lamat-lamat aku dengar suara kecil cucuku. Tangan kecilnya turut serta mengguncang-ngguncang tubuhku.
"Hmm..."
"Kakek sudah jam 5, ayo bangun, sholat dulu!"
Sambil mengumpulkan serakan nyawa, aku mulai membuka mata "iyaa.."
Melihat aku terbangun, bocah 5 tahun itu tersenyum manis lalu berlari menuju dapur. Dan seperti biasa ia melaporkan kepada ibunya bahwa aku sudah bangun.
Sinar matahari mulai memancar hangat. Semburat jingganya menembus sela-sela dahan pohon, termasuk kulit kisutku. Titik-titik embun yang menutupi daun keladi di taman kecil rumahku belum juga terusik. Sesekali kicau kenari milik tetangga menambah cantiknya pagi ini.
"Bapak itu sudah tua, dijaga kesehatannya, jangan begadang setiap hari" gerutu putriku sambil meletakkan secangkir kopi hitam dan sepuring gethuk yang dibaluri parutan kelapa.
"Iyaaa..." jawabku malas sambil mencomot gethuk yang mempesona itu.
"Iya, iya thok. Kalau tensinya kambuh lagi bagaimana?" Sorot matanya tajam tapi lembut mirip sekali dengan ibunya. Aku hanya diam seperti biasa. Entah kenapa mendengar omelan putriku satu-satunya ini saja sudah membuatku bahagia. Dan berjuta kedongkolan tadi malam telah sedikit teredam.
"Bapak hanya melakukan apa yang bisa bapak lakukan, selagi Tuhan masih memberi kesempatan" ku seruput kopi kental di cangkir putih kecil di sampingku. Perasaan tenang terasa mengalir di dadaku.
"Iyaaa..tapi Yani tidak mau Bapak kambuh lagi. Jangan terlalu memaksakan diri. Toh tulisan Bapak pasti dimuat di koran dan majalah." Ia sentuh tanganku. Pandangannya mengiba. Ia paham apa yang sedang aku rasakan.
"Iya nduk, iya" aku sunggingkan senyum semanis mungkin agar ia lega dan tidak ngomel lagi.
***
Aku masih membetahkan diri duduk di kursi empuk ini. Meski rasa bosan dari tadi menyerbu diriku. Semua sudut ruangan kecil, sekira 3x3 meter, ini sudah habis ditelanjangi oleh kedua mataku. Tapi yang aku tunggu-tunggu tak juga menunjukkan batang hidungnya. Ah, mau meledak saja rasanya kepala ini. Kemana juga si buncit itu. Hampir satu jam aku menunggunya.
"Waah Salim, apa kabar?" kebosananku mendadak terhenti. Si buncit tiba-tiba saja nongol dari balik korden dekil berwarna hijau toska yang dari tadi aku pandangi.
"Lama sekali, kemana saja kau?" Aku bersungut-sungut melampiaskan kekesalan.
"Hehe..maaf..maaf..ada banyak sekali pekerjaan minggu ini. Baru saja selesai rapat" wajah bulatnya bertambah lebar. Ia bergegas duduk di sebelahku. Bau minyak kayu putih langsung menyeruak di hidungku.
"Ada masalah lagi?" Kenapa pula aku jadi ingin tahu urusan dia.
"Biasalah Lim, oh iya, ada perlu apa kamu kesini?"
Aku menyodorkan naskah tulisan hasil lemburku semalam. Sejenak ia mengernyitkan dahi lebarnya yang nyaris tak ada beda dengan kulit kepalanya saat membaca judul tulisanku. Ia pandangi aku, lalu tulisanku, ia pandangi lagi aku, dan kembali ke tulisanku. Lama ia diam. Ia ulangi lagi membaca tulisanku.
"Kamu yakin dengan tulisanmu ini?" Ia letakkan naskahku dengan amat hati-hati layaknya barang rentan pecah.
"Kenapa kamu tanya begitu?" Aku balik bertanya. Karena sekian tahun aku bolak-balik menyerahkan naskah tulisan padanya, baru kali ini dia bertanya begitu.
"Kamu sadar dengan resiko tulisanmu ini?"
"Resiko apa maksudmu Di?" Kembali aku balik bertanya
"Sudah kamu pikirkan nasib WTS (Wanita Tuna Susila) bernama Rahayu yang menjadi tokoh tulisanmu ini setelah tulisanmu dibaca banyak orang?"
"Tentu Di, dia dan kawan-kawannya yang sudah terjebak di dunia prostitusi akan mendapat banyak bantun dari pemerintah dan polisi" jawabku meyakinkan.
"Sayang Lim, sungguh sayang" ia menggeleng-gelengkan kepala botaknya. "Masalahnya tidak sesederhana itu"
Aku semakin heran dengan kata-kata Sutardi ini. Apa salahnya aku menulis tentang fakta kelam di balik dunia prostitusi di kotaku kebanggaanku ini?. Bukankah jika berhasil terungkap, Surabaya akan menjadi kota yang bersih dari prostitusi?.
"Lebih baik kamu pikirkan lagi Lim. Aku mengerti perasaanmu. Kamu memang orang yang kritis dari dulu, beda dengan aku. Tapi yang kamu tulis ini adalah borok menganga yang berusaha ditutupi oleh semua orang" lanjutnya.
"Aku semakin tidak paham maksudmu Di?"
"Begini Lim, ada baiknya kamu pahami dan teliti lagi apa sebenarnya yang ada di balik dunia gelap ini. Dan apa dampaknya jika semuanya terungkap". Nampaknya Sutardi benar-benar tidak mau menerbitkan tulisanku ini. Aku mulai agak kesal.
"Jadi kamu menolak tulisanku ini" suaraku agak meninggi. Dan rupanya dia meyadari kekesalanku.
"Bukan begitu Lim maksudku, kasus prostitusi ini sudah seperti kerajaan. Rahayu hanya satu di antara sekian ratus pion yang ada saja...."
"Jadi menurutmu, nasib Rahayu dan teman-temannya tidak penting?" Aku memotong kata-katanya.
"Kamu memang belum paham Lim" ia tersenyum ramah.
Aku tarik naskahku dari hadapannya. Dan bersungut-sungut pulang tanpa permisi.
Berambung....

