Rabu, 14 Februari 2018

Suara Rumput (Bagian 1)

Jar-jari ini masih saja menggebu-nggebu menekan barisan keyboard laptop. Meski mata semakin merah dan pedih menahan kantuk. Tapi tubuh renta ini masih enggan juga untuk beranjak dari kursi. Dan, isi kepalaku, masih saja berebut keluar tiada habisnya. Kulirik jam di sudut layar laptop. Pukul 02.37. Gila! Sudah pagi rupanya.

Tidak hanya isi kepalaku ternyata yang merantaiku di bangku belajar cucuku ini. Tapi kemarahan, kedongkolan, kesedihan, keprihatinan, kebencian dan segudang perasaan yang sulit didefinisikan menyeruak keluar turut membumbuhi tarian jemariku.

Hei berhenti sialan! Tak ada guna kau semarah itu. Tak ada guna pula apa yang kau tuliskan itu, sebagus dan semenarik apapun itu. Toh, mereka hanya membacanya tanpa mau peduli perasaanmu. Apalagi dewa-dewa berdasi di gedung parlemen sana. Biarpun tumitmu sampai selicin keramik, mereka tak akan peduli. Bisikku pada diri sendiri. Berharap tumpahan isi kepala dan luapan perasaan ini berhenti sekarang juga.

Harus aku salahkan siapa kalau sudah begini. Keadaan mengenaskan bangsaku inikah? Atau bedebah-bedebah lintah itu? Atau kalian para pemuda bisu yang bisany sembunyi di balik punggung ibumu? Atau aku kutuk saja diri ini? Yang sampai rambut memutih begini belum jua mampu menyembuhkan negeri ini.

Adzan Subuh berkumandang, dan aku masih saja tenggelam dalam lautan suara rumpang.

***

"Kek, bangun, kek ayo bangun!" Lamat-lamat aku dengar suara kecil cucuku. Tangan kecilnya turut serta mengguncang-ngguncang tubuhku.
"Hmm..."
"Kakek sudah jam 5, ayo bangun, sholat dulu!"
Sambil mengumpulkan serakan nyawa, aku mulai membuka mata "iyaa.."
Melihat aku terbangun, bocah 5 tahun itu tersenyum manis lalu berlari menuju dapur. Dan seperti biasa ia melaporkan kepada ibunya bahwa aku sudah bangun.

Sinar matahari mulai memancar hangat. Semburat jingganya menembus sela-sela dahan pohon, termasuk kulit kisutku. Titik-titik embun yang menutupi daun keladi di taman kecil rumahku belum juga terusik. Sesekali kicau kenari milik tetangga menambah cantiknya pagi ini.

"Bapak itu sudah tua, dijaga kesehatannya, jangan begadang setiap hari" gerutu putriku sambil meletakkan secangkir kopi hitam dan sepuring gethuk yang dibaluri parutan kelapa.
"Iyaaa..." jawabku malas sambil mencomot gethuk yang mempesona itu.

"Iya, iya thok. Kalau tensinya kambuh lagi bagaimana?" Sorot matanya tajam tapi lembut mirip sekali dengan ibunya. Aku hanya diam seperti biasa. Entah kenapa mendengar omelan putriku satu-satunya ini saja sudah membuatku bahagia. Dan berjuta kedongkolan tadi malam telah sedikit teredam.

"Bapak hanya melakukan apa yang bisa bapak lakukan, selagi Tuhan masih memberi kesempatan" ku seruput kopi kental di cangkir putih kecil di sampingku. Perasaan tenang terasa mengalir di dadaku.
"Iyaaa..tapi Yani tidak mau Bapak kambuh lagi. Jangan terlalu memaksakan diri. Toh tulisan Bapak pasti dimuat di koran dan majalah." Ia sentuh tanganku. Pandangannya mengiba. Ia paham apa yang sedang aku rasakan.
"Iya nduk, iya" aku sunggingkan senyum semanis mungkin agar ia lega dan tidak ngomel lagi.

***

Aku masih membetahkan diri duduk di kursi empuk ini. Meski rasa bosan dari tadi menyerbu diriku. Semua sudut ruangan kecil, sekira 3x3 meter, ini sudah habis ditelanjangi oleh kedua mataku. Tapi yang aku tunggu-tunggu tak juga menunjukkan batang hidungnya. Ah, mau meledak saja rasanya kepala ini. Kemana juga si buncit itu. Hampir satu jam aku menunggunya.

"Waah Salim, apa kabar?" kebosananku mendadak terhenti. Si buncit tiba-tiba saja nongol dari balik korden dekil berwarna hijau toska yang dari tadi aku pandangi.
"Lama sekali, kemana saja kau?" Aku bersungut-sungut melampiaskan kekesalan.
"Hehe..maaf..maaf..ada banyak sekali pekerjaan minggu ini. Baru saja selesai rapat" wajah bulatnya bertambah lebar. Ia bergegas duduk di sebelahku. Bau minyak kayu putih langsung menyeruak di hidungku.
"Ada masalah lagi?" Kenapa pula aku jadi ingin tahu urusan dia.
"Biasalah Lim, oh iya, ada perlu apa kamu kesini?"

Aku menyodorkan naskah tulisan hasil lemburku semalam. Sejenak ia mengernyitkan dahi lebarnya yang nyaris tak ada beda dengan kulit kepalanya saat membaca judul tulisanku. Ia pandangi aku, lalu tulisanku, ia pandangi lagi aku, dan kembali ke tulisanku. Lama ia diam. Ia ulangi lagi membaca tulisanku.

"Kamu yakin dengan tulisanmu ini?" Ia letakkan naskahku dengan amat hati-hati layaknya barang rentan pecah.
"Kenapa kamu tanya begitu?" Aku balik bertanya. Karena sekian tahun aku bolak-balik menyerahkan naskah tulisan padanya, baru kali ini dia bertanya begitu.
"Kamu sadar dengan resiko tulisanmu ini?"
"Resiko apa maksudmu Di?" Kembali aku balik bertanya
"Sudah kamu pikirkan nasib WTS (Wanita Tuna Susila) bernama Rahayu yang menjadi tokoh tulisanmu ini setelah tulisanmu dibaca banyak orang?"
"Tentu Di, dia dan kawan-kawannya yang sudah terjebak di dunia prostitusi akan mendapat banyak bantun dari pemerintah dan polisi" jawabku meyakinkan.
"Sayang Lim, sungguh sayang" ia menggeleng-gelengkan kepala botaknya. "Masalahnya tidak sesederhana itu"
Aku semakin heran dengan kata-kata Sutardi ini. Apa salahnya aku menulis tentang fakta kelam di balik dunia prostitusi di kotaku kebanggaanku ini?. Bukankah jika berhasil terungkap, Surabaya akan menjadi kota yang bersih dari prostitusi?.
"Lebih baik kamu pikirkan lagi Lim. Aku mengerti perasaanmu. Kamu memang orang yang kritis dari dulu, beda dengan aku. Tapi yang kamu tulis ini adalah borok menganga yang berusaha ditutupi oleh semua orang" lanjutnya.
"Aku semakin tidak paham maksudmu Di?"
"Begini Lim, ada baiknya kamu pahami dan teliti lagi apa sebenarnya yang ada di balik dunia gelap ini. Dan apa dampaknya jika semuanya terungkap". Nampaknya Sutardi benar-benar tidak mau menerbitkan tulisanku ini. Aku mulai agak kesal.
"Jadi kamu menolak tulisanku ini" suaraku agak meninggi. Dan rupanya dia meyadari kekesalanku.
"Bukan begitu Lim maksudku, kasus prostitusi ini sudah seperti kerajaan. Rahayu hanya satu di antara sekian ratus pion yang ada saja...."
"Jadi menurutmu, nasib Rahayu dan teman-temannya tidak penting?" Aku memotong kata-katanya.
"Kamu memang belum paham Lim" ia tersenyum ramah.
Aku tarik naskahku dari hadapannya. Dan bersungut-sungut pulang tanpa permisi.

Berambung....

Senin, 12 Februari 2018

Kitab Tafsir dalam Perspektif Muhammad Abduh




Syeikh Muhammad Abduh. Sumber: https://tafsir-quran.com
Dalam dinamika pembaruan Islam, Muhammad Abduh bisa disebut sebagai  salah sosok yang penting dan sangat berpengaruh. Pemikirannya banyak mempengaruhi para pemikir generasi setelahnya. Tidak hanya di tanah airnya, Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia islam lain, termasuk Indonesia di Asia Tenggara. Pandangan Abduh menjadi dasar bagi para kalangan pembaru—yang sekarang disebut sebagai kalangan Islam progresif—dalam menilik ulang dan melakukan kritik terhadap produk-produk pemikiran yang sudah dianggap tidak relevan lagi dengan konteks zaman. Selain itu, pandangan-pandangan Abduh juga menjadi dasar bagi mereka untuk merumuskan gagasan dan pemikiran terkait reaktualisasi ajaran Islam atau biasa disebut dengan pembaruan Islam.
Buah pemikiran Abduh lahir dari kegelisahannya terhadap kemandekan intelektual yang melanda umat Islam. Abduh menuding budaya taklid serta amalan-amalan ibadah yang menurutnya tidak sejalan dengan syari’at sebagai penyebab utama. Pandangan-pandangan Abduh yang sering kali sangat rasional sehingga terasa dia telah mempersempit wilayah gaib, kalau enggan berkata “meniadakannya” dalam kamus ajaran Islam. Pandangan ini boleh jadi diterima atau paling tidak ditoleransi bila disadari bahwa penjelasan semacam itu lahir dari keinginannya yang mengebu-gebu untuk menguraikan ajaran Islam di hadapan orang-orang Barat yang tidak memahami bahasa “suprarasional”. Dalam tulisan singkat ini akan sedikit disinggung bagaimana pemikiran atau pandangan Muhammad Abduh mengenai kitab tafsir yang selama berabad-abad menjadi rujukan umat Islam, bahkan seringkali diabsolutkan kebenarannya.
Pertama; Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an.[1]
Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena penafsirnya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukannya kitab tafsir yang sesungguhnya.[2]
Menurut Abduh, Allah swt. tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal-hal tersebut, masyarakat pun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah ptunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan dinia dan akhirat.[3]
Walaupun demikian, ada beberapa kitab yang dikecualikannya, yaitu Tafsir az-Zamakhsyari. Tafsir ini dinilainya sebagai kitab terbaik untuk para pelajar dan mahasiswa, karena ketelitian tedaksi serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya. Penilaian tersebut disampaikan kepada Rasyid Ridha ketika dia menanyakan tentang tafsir yang terbaik.[4] Di lain kesempatan, Abduh juga menyebut tafsir ath-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani, dan al-Qurthubi, sebagai kitab-kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu, karena pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan, dengan demikian mereka telah berpartisipasi dalam menciptakan iklim ilmiah di tengah-tengah masyarakat mereka.[5]
Kedua; dalam bidang penafsiran, Abduh menggarisbawahi bahwa dialog al-Qur’an dengan masyarakat Arab ummiyyin (awam/yang tidak tahu baca tulis) bukan berarti bahwa ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata-mata, tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan generasi.karena itu, menjadi kewajiban setiap orang pandai atau bodoh untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing.[6]
Jalan pikiran Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yaitu peranan akal dan kondisi sosial.
1.    Peranan Akal
Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya, al-Qur’an tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal.[7]
Dengan demkian, walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi saw.(wahyu), khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah persoalan ibadah.[8]
2.    Peranan Kondisi Sosial
Ajaran agama, menurut Abduh secara umum terbagi dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-jaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.[9]
Dari sini, Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mereka mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa menghiraukan perbedaan kondisi sosial. Hal ini, menurut Abduh, “mengakibatkan kesukaran bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran agama.”[10]
Kaum Muslim telah menanggalkan agama mereka, karena perhatian selama ini hanya tertuju kepada redaksi ayat-ayat (nash), tanpa memperhatikan ruh/jiwa ayat-ayat itu sendiri.[11] Kata Abduh, itulah sebabnya mengapa dia mengusulkan kepada para ulama “agar mereka menghimpun diri dalam wadah satu organisasi, yang di dalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal keagamaan dan mencari ‘illat (motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.”[12] Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, terlebih yang menyangkut ayat-ayat hukum, landasan ini tidakpernah diabaikannya.
Melalui kedua hal tersebut di atas, Abduh berusaha mewujudkan tujuannya, yakni mengembalikan kemurnian ajaran Islam. Serta menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini. Sehingga Islam menjadi agama yang dinamis dan selalu relevan dengan berbagai kehidupan manusia.
Pembaruan pemikiran yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya sekadar penolakan global terhadap pemikiran-pemikaran yang telah ada. Lebih dari itu, konsep pembaruan yang diusung Abduh merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan, dan menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar sesuai dengan tuntutan zaman.



[1]Syaikh Muhammad Abduh, Fatihah al-Kitab, Kairo,Kitab at-Tahrir, 1382 H, hlm.13.
[2]Ibid.,hlm. 12.
[3]Ibid., hlm. 5 dan 12
[4]Ibrahim Muhammad al-Adawi, Rasyid Ridha: al-Imam al-Mujahid, Kairo, Maktabah Mishr, 1964, hlm.91.
[5]Abdul ‘Athi Muhammad Ahmad, op. cit., hlm. 8.
[6]Syaikh Muhammad Abduh , Fatihah al-Kitab, op. cit., hlm. 8.
[7]Syaikh Muhammad Abduh, Risalah at-tauhid, kitab al-Hilal No. 143, Dar al-Hilal, 1963, hlm.24.
[8]Ibid., hlm. 25-26.
[9]Ibid., hlm. 112.
[10]Abdul ‘Athi Muhammada Ahmad, op. cit., hlm. 152.
[11]Muhammada Imarah, op. cit., jilid III, hlm. 323, dikutip oleh Abdul ‘Athi Muhammad Ahmad, op. cit., hlm.152.
[12]Ibid.

Minggu, 11 Februari 2018

Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Islam


Peningkatan mutu pendidikan merupakan persoalan bangsa yang selalu menjadi pekerjaan rumah bagi setiap rezim pemerintahan. Hal ini karena, pendidikan merupakan sektor sentral dalam upaya pembangunan terutama pembangunan manusia. Semakin berkualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka akan semakin berkualitas pula suatu bangsa. Namun dari masa ke masa, upaya peningkatan mutu pendidikan di negeri ini belum terasa dampaknya secara signifikan. Sebagaimana diketahui, bahwa dunia pendidikan kita masih saja harus menghadapi dan menyelesaikan berbagai problematika yang sama dari tahun ke tahun. Problematika tersebut terkait dengan sistem pendidikan, kurikulum, kualitas lulusan, profesinoalitas, kesejahteraan dan integritas pendidik, infrastruktur, biaya, serta akuntabilitas lembaga dan pengelola pendidikan.
Terlepas dari problematika tersebut, dunia pendidikan di Indonesia juga sedang dihadapkan dengan permasalahan dekadensi moral yang melanda peserta didik. Nilai-nilai luhur bangsa seperti kesopanan, keramahan, tenggang rasa, rendah hati, suka menolong, solidaritas dan sebagainya semakin memudar di kalangan generasi muda. Kondisi ini semakin diperparah dengan kondisi lingkungan sosial yang tidak lagi representatif sebagai tempat belajar bagi mereka. Hilangnya keteladanan pemimpin, sering terjadinya pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, dan larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara adalah sederet fenomena yang akrab di telinga generasi muda.
Berbagai permasalahan di atas, seberapapun rumitnya, mau tidak mau harus tetap dihadapi dan diselesaikan oleh pemerintah, satuan pendidikan, dan masyarakat demi masa depan bangsa yang lebih baik. Apalagi bangsa ini dalam tiga puluh tahun mendatang dihadapkan dengan bonus demografi yang bak pisau bermata dua. Satu di antara upaya yang harus pula dilakukan adalah dengan melakukan reorientasi sistem pendidikan yang telah berjalan. Reorientasi ini penting untuk menakar seberapa relevan sisitem pendidikan yang tengah berjalan dengan tantangan dan kebutuhan zaman di masa yang akan datang. Reorientasi dapat dimulai dengan menilik kembali tujuan dari pendidikan. Dalam hal ini pautu kiranya, konsep tujuan pendidikan dalam Islam dijadikan referensi.
Secara makro pendidikan Islam memiliki tiga macam tujuan yaitu: pertama, untuk menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia. Dalam pengertian yang lebih luas, bahwa menurut aqidah Islamiyah, bahwa setiap manusia yang lahir ke permukaan bumi ini selalu berada dalam kondisi fitrah, yang memiliki kecenderungan beriman terhadap ke-Esaan Tuhan, yang secara naluri cenderung untuk mengikuti kebaikan dan kebenaran. Dalam perjalanan hidup manusia, fitrah tersebut seringkali megalami gangguan, baik gangguan yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Untuk menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia tersebut diperlukan proses pendidikan seoanjang hidup (long life education), sejak lahir sampai masuk liang kubur (min al-mahdi ila al-mahdi).
Kedua,  untuk mengembangkan potensi-potensi fithrah manusia. Menurut ajaran Islam, manusia dibekali seperangkat potensi dan kemampuan yang luar biasa oleh Allah, berupa fisik, naluri, panca indera, akal fikiran, hati nurani, dan agama.Potensi-potensi tersebut menyebabkan manusia mimiliki kemampuan yang jauh lebih besar disbanding dengan makhluk lainnya.Manusia dapat menjadi makhluk berbudaya, makhluk yangmenciptakan peradaban dan mampu mengelola kekuatan dan kekayaan alam khususnya yang ada di bumi. Maka untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia agar menjadi kompeten melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi, dibutuhkan pengetahuan dan keahlian yang bermacam-macam, dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang memadai, dan semuanya itu membutuhkan pendidikan dan pelatihan dalam berbagai tingkatan dan disiplin ilmu pengetahuan.
Ketiga, menyelaraskan langkah perjalanan fitrah mukhallaqah (manusia fitrah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (agama fitrah/agama Islam) dalam semua aspek kehidupannya, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur kehidupan yang benar, atau di atas jalur “as-shirath al-mustaqim”. Manusia akan menemukan kebahagiaan dan kedamaian haqiqi apabila dalam segala aspek terjang hidupnya sesuai dengan arahan dari agama Allah (agama Islam). Apabila manusia menemukan kebahagiaan di luar jalur yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, maka kedamaian itu sifatnya hanya semu belaka (tidak langgeng). Untuk menumbuhkan kesadaran demikian, diperlukan proses yang dinamakan pendidikan. Manusia perlu dididik dan dibina agar dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan arahan agama Allah.[1]
Mengacu pada tujuan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam pandangan Islam, belajar memiliki dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal dan ketundukan vertikal. Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar menurut pandangan Islam tidak berbeda dengan teori belajar pada umumnya, yang tak terpisahkan dengan pengembangan sains dan teknologi (menggali, memahami dan mengembangkan ayat-ayat Allah). Selain dimensi dialektika horizontal ini, menurut Islam kegiatan belajar harus mampu mengantarkan pebelajar untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dimensi inilah yang disebut dimensi ketundukan vertikal. Dalam kaitan inilah, pendidikan hati (qalb) sangat dituntut agar membawa manfaat yang besar bagi umat manusia dan juga lingkungannya, bukan kerusakan dan kezaliman, dan ini merupakan perwujudan dari ketundukan vertikal tadi. Jadi, belajar di dalam perspektif Islam juga mencakup lingkup kognitif (domain cognitive), lingkup efektif (domain affective) dan lingkup psikomotor (domain motor-skill). Tiga ranah atau lingkup tersebut sering diungkapkan dengan istilah: Ilmu amaliah, amal ilmiah dalam jiwa imaniah.


[1] Masykuri Bakri & Nur Wakhid, Quo Vadis Pendidikan Islam Klasik Perspektif Intelektual Muslim, 2010, Surabaya: Visipress Media, hlm. 7-8.

Suara Rumput (Bagian 1)

Jar-jari ini masih saja menggebu-nggebu menekan barisan keyboard laptop. Meski mata semakin merah dan pedih menahan kantuk. Tapi tubuh re...