Senin, 12 Februari 2018

Kitab Tafsir dalam Perspektif Muhammad Abduh




Syeikh Muhammad Abduh. Sumber: https://tafsir-quran.com
Dalam dinamika pembaruan Islam, Muhammad Abduh bisa disebut sebagai  salah sosok yang penting dan sangat berpengaruh. Pemikirannya banyak mempengaruhi para pemikir generasi setelahnya. Tidak hanya di tanah airnya, Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia islam lain, termasuk Indonesia di Asia Tenggara. Pandangan Abduh menjadi dasar bagi para kalangan pembaru—yang sekarang disebut sebagai kalangan Islam progresif—dalam menilik ulang dan melakukan kritik terhadap produk-produk pemikiran yang sudah dianggap tidak relevan lagi dengan konteks zaman. Selain itu, pandangan-pandangan Abduh juga menjadi dasar bagi mereka untuk merumuskan gagasan dan pemikiran terkait reaktualisasi ajaran Islam atau biasa disebut dengan pembaruan Islam.
Buah pemikiran Abduh lahir dari kegelisahannya terhadap kemandekan intelektual yang melanda umat Islam. Abduh menuding budaya taklid serta amalan-amalan ibadah yang menurutnya tidak sejalan dengan syari’at sebagai penyebab utama. Pandangan-pandangan Abduh yang sering kali sangat rasional sehingga terasa dia telah mempersempit wilayah gaib, kalau enggan berkata “meniadakannya” dalam kamus ajaran Islam. Pandangan ini boleh jadi diterima atau paling tidak ditoleransi bila disadari bahwa penjelasan semacam itu lahir dari keinginannya yang mengebu-gebu untuk menguraikan ajaran Islam di hadapan orang-orang Barat yang tidak memahami bahasa “suprarasional”. Dalam tulisan singkat ini akan sedikit disinggung bagaimana pemikiran atau pandangan Muhammad Abduh mengenai kitab tafsir yang selama berabad-abad menjadi rujukan umat Islam, bahkan seringkali diabsolutkan kebenarannya.
Pertama; Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an.[1]
Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena penafsirnya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukannya kitab tafsir yang sesungguhnya.[2]
Menurut Abduh, Allah swt. tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal-hal tersebut, masyarakat pun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah ptunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan dinia dan akhirat.[3]
Walaupun demikian, ada beberapa kitab yang dikecualikannya, yaitu Tafsir az-Zamakhsyari. Tafsir ini dinilainya sebagai kitab terbaik untuk para pelajar dan mahasiswa, karena ketelitian tedaksi serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya. Penilaian tersebut disampaikan kepada Rasyid Ridha ketika dia menanyakan tentang tafsir yang terbaik.[4] Di lain kesempatan, Abduh juga menyebut tafsir ath-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani, dan al-Qurthubi, sebagai kitab-kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu, karena pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan, dengan demikian mereka telah berpartisipasi dalam menciptakan iklim ilmiah di tengah-tengah masyarakat mereka.[5]
Kedua; dalam bidang penafsiran, Abduh menggarisbawahi bahwa dialog al-Qur’an dengan masyarakat Arab ummiyyin (awam/yang tidak tahu baca tulis) bukan berarti bahwa ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata-mata, tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan generasi.karena itu, menjadi kewajiban setiap orang pandai atau bodoh untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing.[6]
Jalan pikiran Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yaitu peranan akal dan kondisi sosial.
1.    Peranan Akal
Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya, al-Qur’an tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal.[7]
Dengan demkian, walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi saw.(wahyu), khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah persoalan ibadah.[8]
2.    Peranan Kondisi Sosial
Ajaran agama, menurut Abduh secara umum terbagi dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-jaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.[9]
Dari sini, Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mereka mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa menghiraukan perbedaan kondisi sosial. Hal ini, menurut Abduh, “mengakibatkan kesukaran bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran agama.”[10]
Kaum Muslim telah menanggalkan agama mereka, karena perhatian selama ini hanya tertuju kepada redaksi ayat-ayat (nash), tanpa memperhatikan ruh/jiwa ayat-ayat itu sendiri.[11] Kata Abduh, itulah sebabnya mengapa dia mengusulkan kepada para ulama “agar mereka menghimpun diri dalam wadah satu organisasi, yang di dalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal keagamaan dan mencari ‘illat (motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.”[12] Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, terlebih yang menyangkut ayat-ayat hukum, landasan ini tidakpernah diabaikannya.
Melalui kedua hal tersebut di atas, Abduh berusaha mewujudkan tujuannya, yakni mengembalikan kemurnian ajaran Islam. Serta menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini. Sehingga Islam menjadi agama yang dinamis dan selalu relevan dengan berbagai kehidupan manusia.
Pembaruan pemikiran yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya sekadar penolakan global terhadap pemikiran-pemikaran yang telah ada. Lebih dari itu, konsep pembaruan yang diusung Abduh merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan, dan menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar sesuai dengan tuntutan zaman.



[1]Syaikh Muhammad Abduh, Fatihah al-Kitab, Kairo,Kitab at-Tahrir, 1382 H, hlm.13.
[2]Ibid.,hlm. 12.
[3]Ibid., hlm. 5 dan 12
[4]Ibrahim Muhammad al-Adawi, Rasyid Ridha: al-Imam al-Mujahid, Kairo, Maktabah Mishr, 1964, hlm.91.
[5]Abdul ‘Athi Muhammad Ahmad, op. cit., hlm. 8.
[6]Syaikh Muhammad Abduh , Fatihah al-Kitab, op. cit., hlm. 8.
[7]Syaikh Muhammad Abduh, Risalah at-tauhid, kitab al-Hilal No. 143, Dar al-Hilal, 1963, hlm.24.
[8]Ibid., hlm. 25-26.
[9]Ibid., hlm. 112.
[10]Abdul ‘Athi Muhammada Ahmad, op. cit., hlm. 152.
[11]Muhammada Imarah, op. cit., jilid III, hlm. 323, dikutip oleh Abdul ‘Athi Muhammad Ahmad, op. cit., hlm.152.
[12]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suara Rumput (Bagian 1)

Jar-jari ini masih saja menggebu-nggebu menekan barisan keyboard laptop. Meski mata semakin merah dan pedih menahan kantuk. Tapi tubuh re...