![]() | ||
Syeikh Muhammad Abduh. Sumber: https://tafsir-quran.com |
Buah pemikiran Abduh lahir dari kegelisahannya terhadap kemandekan
intelektual yang melanda umat Islam. Abduh menuding budaya taklid serta
amalan-amalan ibadah yang menurutnya tidak sejalan dengan syari’at sebagai
penyebab utama. Pandangan-pandangan Abduh yang sering kali sangat rasional
sehingga terasa dia telah mempersempit wilayah gaib, kalau enggan berkata
“meniadakannya” dalam kamus ajaran Islam. Pandangan ini boleh jadi diterima
atau paling tidak ditoleransi bila disadari bahwa penjelasan semacam itu lahir
dari keinginannya yang mengebu-gebu untuk menguraikan ajaran Islam di hadapan
orang-orang Barat yang tidak memahami bahasa “suprarasional”. Dalam tulisan
singkat ini akan sedikit disinggung bagaimana pemikiran atau pandangan Muhammad
Abduh mengenai kitab tafsir yang selama berabad-abad menjadi rujukan umat
Islam, bahkan seringkali diabsolutkan kebenarannya.
Pertama; Muhammad Abduh
menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain
kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada
akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an.[1]
Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan
kaku, karena penafsirnya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian
kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain
menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat
al-Qur’an. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi
semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukannya kitab tafsir yang
sesungguhnya.[2]
Menurut Abduh, Allah swt. tidak akan menanyakan kepada kita tentang
hal-hal tersebut, masyarakat pun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan
adalah ptunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan dinia dan
akhirat.[3]
Walaupun demikian, ada beberapa kitab yang dikecualikannya, yaitu Tafsir
az-Zamakhsyari. Tafsir ini dinilainya sebagai kitab terbaik untuk para
pelajar dan mahasiswa, karena ketelitian tedaksi serta segi-segi sastra bahasa
yang diuraikannya. Penilaian tersebut disampaikan kepada Rasyid Ridha ketika
dia menanyakan tentang tafsir yang terbaik.[4] Di
lain kesempatan, Abduh juga menyebut tafsir ath-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani,
dan al-Qurthubi, sebagai kitab-kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu,
karena pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan
berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam
perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan, dengan
demikian mereka telah berpartisipasi dalam menciptakan iklim ilmiah di
tengah-tengah masyarakat mereka.[5]
Kedua; dalam bidang
penafsiran, Abduh menggarisbawahi bahwa dialog al-Qur’an dengan masyarakat Arab
ummiyyin (awam/yang tidak tahu baca tulis) bukan berarti bahwa ayat-ayatnya
hanya tertuju kepada mereka semata-mata, tetapi berlaku umum untuk setiap masa
dan generasi.karena itu, menjadi kewajiban setiap orang pandai atau bodoh untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing.[6]
Jalan pikiran Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut
pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yaitu peranan akal
dan kondisi sosial.
1.
Peranan Akal
Muhammad Abduh
berpendapat bahwa metode al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda
dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya, al-Qur’an tidak
menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi memaparkan
masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan
pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut
Abduh, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui
pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada ajaran-ajaran agama
yang sukar dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal.[7]
Dengan demkian,
walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap mengakui
keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi saw.(wahyu),
khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah
persoalan ibadah.[8]
2.
Peranan Kondisi Sosial
Ajaran agama,
menurut Abduh secara umum terbagi dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang
rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami
perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan
kaidah-jaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan
kondisi sosial.[9]
Dari sini,
Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mereka
mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa menghiraukan perbedaan
kondisi sosial. Hal ini, menurut Abduh, “mengakibatkan kesukaran bagi
masyarakat, bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran agama.”[10]
Kaum Muslim
telah menanggalkan agama mereka, karena perhatian selama ini hanya tertuju
kepada redaksi ayat-ayat (nash), tanpa memperhatikan ruh/jiwa ayat-ayat
itu sendiri.[11]
Kata Abduh, itulah sebabnya mengapa dia mengusulkan kepada para ulama “agar
mereka menghimpun diri dalam wadah satu organisasi, yang di dalamnya mereka
dapat mendiskusikan soal-soal keagamaan dan mencari ‘illat (motif) dari
setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan satu kondisi
tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka
ketetapan itu juga dapat berubah.”[12]
Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, terlebih yang menyangkut ayat-ayat hukum,
landasan ini tidakpernah diabaikannya.
Melalui kedua
hal tersebut di atas, Abduh berusaha mewujudkan tujuannya, yakni mengembalikan kemurnian
ajaran Islam. Serta menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini. Sehingga
Islam menjadi agama yang dinamis dan selalu relevan dengan berbagai kehidupan
manusia.
Pembaruan
pemikiran yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya sekadar penolakan global
terhadap pemikiran-pemikaran yang telah ada. Lebih dari itu, konsep pembaruan
yang diusung Abduh merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan, dan
menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar sesuai
dengan tuntutan zaman.
[1]Syaikh Muhammad
Abduh, Fatihah al-Kitab, Kairo,Kitab at-Tahrir, 1382 H, hlm.13.
[3]Ibid.,
hlm. 5 dan 12
[4]Ibrahim
Muhammad al-Adawi, Rasyid Ridha: al-Imam al-Mujahid, Kairo, Maktabah
Mishr, 1964, hlm.91.
[5]Abdul ‘Athi
Muhammad Ahmad, op. cit., hlm. 8.
[6]Syaikh Muhammad
Abduh , Fatihah al-Kitab, op. cit., hlm. 8.
[7]Syaikh Muhammad
Abduh, Risalah at-tauhid, kitab al-Hilal No. 143, Dar al-Hilal, 1963,
hlm.24.
[10]Abdul ‘Athi
Muhammada Ahmad, op. cit., hlm. 152.
[11]Muhammada
Imarah, op. cit., jilid III, hlm. 323, dikutip oleh Abdul ‘Athi Muhammad
Ahmad, op. cit., hlm.152.
[12]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar